Skenario Untuk Kekalahan Ahok
Mungkin tidak banyak yang tahu soal kekalahan Ahok, tapi aku sudah melihat skenario itu jauh sebelum pencoblosan.
Beberapa waktu yang lalu aku sempat menghindar dari sosmed dan beberapa teman juga sempat menanyakan kenapa aku tidak aktif di FB, kubilang saja sibuk, tapi sebenarnya aku kabur.
Jika dibanding putaran pertama, putaran kedua aku memang sudah malas mengikuti perkembangan Pilkada DKI. Aku hanya sempat menonton Ahok show pertama di YouTube, setelah itu aku tidak lagi mengikuti kegiatannya. Debat di Mata Najwa aku abaikan, begitu juga di Kompas TV. Bahkan ketika ada trending topik 'anies takut debat' juga kuabaikan. Aku tidak ingin tahu apa yang terjadi. Aku juga bahkan tidak tahu masalah debat KPUD. Aku hanya tahu debat di putaran terakhir. Debat terakhir itu aku sempat mengintip sejenak di live streaming, saat itu Ahok sdg debat head to head dgn Anies. Dan di debat itu aku melihat Ahok sedikit berbeda, tidak lagi greget dari sebelumnya. Bahasa tubuhnya sudah menunjukkan dia pasrah. Begitu juga dengan Djarot, terlihat lebih gugup. Aku tidak menonton hingga selesai, karena feelingku bertambah kuat bahwa Ahok akan kalah.
Aku menghibur diri menghadapi kenyataan nanti.
Aku menghibur diri menghadapi kenyataan nanti.
Pada hari pencoblosan, sekitar jam 2 siang waktu Jakarta, aku terbangun dan melihat live streaming, tiga quick count menunjukkan Anies unggul. Saat itu suara yang masuk sudah 40%. Dan aku pesimis jika suara Ahok akan bisa mengejar Anies. Seperti dugaanku, Ahok pasti kalah. Semangatku semakin down. Tidak seperti putaran pertama dimana aku aktif memantau hasil pencoblosan, di putaran kedua, laporan teman-teman dari TPS mereka di WA kuabaikan, tidak kulanjutkan ke medsos. Hari itu aku kembali tidur.
Dugaanku bahwa Ahok akan kalah, karena aku melihat kurangnya militansi dari partai-partai pendukung. Memang mereka terlihat memberi dukungan tapi kerja-kerja di akar rumput sangat kurang sekali. Aku tidak tahu kenapa, tapi menurutku kebanyakkan mereka mendua hati. Berubahnya sikap partai-partai pendukung terlihat ketika adanya kasus Al Maidah, namun sempat membaik setelah tahun baru. Sayangnya, sikap mereka kembali mendua ketika isu pelecehan pada Ketua MUI di sidang Ahok merebak. Kasus inilah menjadi pertanda awal buatku bahwa peluang Ahok akan sulit. Dan aku semakin ragu saat melihat pernyataan Yeni Wahid di Metro TV tentang masalah tersebut. Saat dia mengatakan kalau dia menyayangkan adanya sikap tidak menghormati ulama. Meski ada berbagai tanggapan yang menetralkan masalah tersebut perasaanku tetap mengatakan sulit bagi Ahok untuk menang.
Ketika hasil putaran pertama tidak menembus target 51%, dan Ahok hanya menembus putaran kedua, aku sempat melayangkan protes ke petinggi partai. Aku menyayangkan peluang di putaran pertama. Seandainya mesin partai-partai pendukung bekerja lebih keras, kita tidak perlu sampai ke putaran kedua. Karena hanya akan menguras tenaga, pikiran dan biaya. Tapi ya begitu..ternyata dalam masa putaran kedua, tak ada kemajuan significant. Di media dukungan partai bertambah tapi di akar rumput tak terlihat militansinya. Ahok seperti dibiarkan berjuang sendiri bersama relawan dan masyarakat. Tidak heran suara Ahok dicaplok habis.
Sebuah pelajaran penting, politik di Indonesia memang sulit diprediksi. Kebanyakkan politisi suka bermain dua kaki. Tepatnya mendua hati. Begitu juga dengan masyarakat kita, kebanyakkan memang hypocrite. Di depanmu dia bilang 'iya', tapi di belakangmu, tindakannya bisa saja 'tidak'.
Aku tahu karena aku mengawasi pergerakkan partai-partai. Aku juga mengawasinya di medsos. Aku menganalisa setiap pernyataan politisi mereka. Salah satunya JK. Aku tidak heran jika dipernyataannya mengenai hasil Pilkada, terlihat sekali keberpihakkannya pada Anies. Dia memuji Anies sebagai pemimpin yang santun dll. Aku tidak heran jika JK berpihak pada Anies. Aku tahunya karena si Eep Saefulloh Fatah yang menjadi Tim sukses Anies adalah juga orang JK. Aku pernah duduk bersebelahan dengannya saat JK kampanye Pilpres di Kupang tiga tahun lalu. Kami sempat basa basi tentang peluang Jokowi-JK waktu itu.
Aku tahu karena aku mengawasi pergerakkan partai-partai. Aku juga mengawasinya di medsos. Aku menganalisa setiap pernyataan politisi mereka. Salah satunya JK. Aku tidak heran jika dipernyataannya mengenai hasil Pilkada, terlihat sekali keberpihakkannya pada Anies. Dia memuji Anies sebagai pemimpin yang santun dll. Aku tidak heran jika JK berpihak pada Anies. Aku tahunya karena si Eep Saefulloh Fatah yang menjadi Tim sukses Anies adalah juga orang JK. Aku pernah duduk bersebelahan dengannya saat JK kampanye Pilpres di Kupang tiga tahun lalu. Kami sempat basa basi tentang peluang Jokowi-JK waktu itu.
Terus terang, aku memang tidak menyukai dengan beberapa pernyataan tokoh selepas Pilkada. Mereka mengatakan kemenangan ini adalah kemenangan rakyat dan demokrasi. Rakyat yang mana? Yang diintimidasi atau yang radikal? Dan dimana demokrasi-nya, jika cara-cara radikal, intimidasi dan isu SARA digunakan untuk memenangkan pertarungan? Bukankah demokrasi adalah kebebasan memilih tanpa rasa takut dsb? Ah, ngomong ama tembok.
Intinya aku kecewa, karena negara ini, demokrasi hanya sebatas di mulut saja, seperti Anies yang suka bermanis kata itu (cocok). Bagaimana kita bisa maju, jika gaya hidup primordial terus yang kita pelihara? Apa sistem bernegara seperti ini yang akan kita warisan pada generasi kita? Sampai kapan kita akan hidup dan diatur oleh sekelompok orang yang otaknya licik dan hatinya egois?
Kita terus dihimbau untuk menerima hasil Pilkada dan kembali melanjutkan hidup. Tapi, bisakah kita hidup tenang jika kita tahu bahwa orang-orang itu berkuasa hanya untuk kepentingan diri mereka sendiri? Mencuri dari negara? Apakah kita akan terus hanya menjadi penonton, ketika mimpi-mimpi anak-anak kita terampaskan?
Sejak 2012, kita melihat perubahan besar di negeri ini. Jokowi dan Ahok adalah simbol perubahan itu. Sebagian dari kita yang dulunya buta atau tidak peduli pada politik, kini menjadi terang dan ikut andil dalam politik. Bahkan generasi muda kita kini tertarik dan terlibat aktif dalam politik. Politik kini menjadi hal yang paling mendidik kita. Semua sejak kehadiran Jokowi-Ahok.
Akankah kita mengubur harapan kita?
Akankah kita mengubur harapan kita?
Mereka berhasil menguasai teras istana, itu berarti pertarungan 2019 akan menjadi lebih hebat.
Kita yang mencintai perubahan, demokrasi sejati, Jokowi dan Ahok, akankah kita hanya menjadi penonton semata atau penyorak semata, melihat bagaimana negeri ini dijadikan sapi perah dalam memperkaya diri mereka sendiri?
Comments
Post a Comment