'Dosa' Ahok Yang Membuatnya Tersingkir dari Pilkada DKI

Pilkada DKI sudah selesai, sebagian Jakartans menikmati kemenangannya dan sebagian lagi menerima kekalahan dengan beragam rasa dan cara. 

Aku juga kecewa dan menyayangkan jika pohon harapan kami untuk melihat Jakarta yang maju, hebat dan membanggakan harus kembali menjadi sebuah biji pohon yang baru mulai ditanam dan tak tahu apakah akan bisa tumbuh menjadi sebuah pohon seperti sebelumnya. Tapi…semua sudah terjadi, dengan segala cara mereka meraih kemenangan. 

Tapi, mengapa itu diijinkan terjadi? Benarkah ini memang kehendak Tuhan? Apakah Tuhan melihat harapan banyak orang atau sebagian orang atau harapan pribadi seseorang? Lalu benarkah kegagalan itu adalah murni segala daya upaya yang dilakukan lawan ataukah karena sikap mendua hati yang tidak diperlihatkan selama ini? 

Semenjak Pilkada DKI digulir, semenjak muncul berbagai reaksi keras terhadap Ahok, aku mencoba mencari jawaban atas pertanyaan di kepalaku, kenapa ada begitu banyak reaksi pada Ahok. Aku membaca berbagai opini di medsos, menonton talkshow, mendengar percakapan orang-orang di bis dan berdiskusi dengan beberapa teman. Ada begitu banyak ulasan dan alasan mengapa Ahok terus diserang. Bahkan Ahok pun sudah sering kali berkata, bahwa dia diserang karena mengikuti Pilkada. Benarkah karena Pilkada ataukah karena Ahok itu sendiri? 

Banyak jawaban kuperoleh tetapi tetap saja tidak memuaskan. Lalu kupikir selama ini aku cuma berbincang dengan orang yang sama denganku, pendukung Ahok. Karena itu, aku memutuskan untuk berdiskusi dengan mereka yang berseberangan denganku. Aku berbicara dengan orang-orang terdekat yang merupakan pendukung Prabowo. Aku juga berbicara dengan mereka yang anti terhadap Ahok, yang berasal dari segala profesi. Ada tukang bakso, petugas halte busway, sopir angkot, pembantu rumah tangga, ketua RT, guru, karyawan kantor Diknas, dll. Ada banyak alasan yang disampaikan, namun dari setiap alasan mereka, selalu terselip sebuah perkataan yang mengejutkan. Dan jujur saja, itu membuatku hilang semangat dan memutuskan untuk menjauh dari media social. Aku merasa bimbang dengan pilihanku.  

Aku tak pernah menyangka, bahwa apa yang muncul ke permukaan, yang diributkan selama ini, bukanlah alasan utamanya. Lalu aku mencoba flash back ke waktu-waktu yang lalu ketika aku berbincang dengan berbagai orang tentang masalah politik di Indonesia, terutama ketika aku berada dalam dunia politik praktis. 

Dalam sebuah diskusi, aku belajar tentang karakter kebanyakkan orang Indonesia. Salah satunya adalah, bahwa orang Indonesia memang tidak bisa kamu percaya begitu saja. Di depanmu mereka mengatakan ‘iya’, tapi di belakangmu mereka berkata ‘tidak’. Ini pelajaran politik pertama yang kudapat ketika terjun ke dunia politik. Kebanyakkan orang Indonesia itu memiliki tipe yang sama, munafik. Dalam kadar tertentu kemunafikkan mereka masih wajar, tapi ada yang melebihi ambang batas, sehingga bisa disebut, keterlaluan. Karena itu berhati-hatilah, tidak semua perkataan ‘iya’ menjadi tindakan ‘iya’ untukmu. 

Selain hal tentang kemunafikkan, ternyata dalam dunia politik Indonesia, ada ‘dosa’ yang tidak boleh dimiliki oleh seorang politisi yaitu Kristen atau Chinese. Pengakuan ini disampaikan oleh seorang teman politisi yang kebetulan memiliki dua ‘dosa’ tersebut. Kupikir itu hanya sebuah kelakar. Tapi ternyata, dalam berbagai pertemuan lintas partai, aku sering mendengar beberapa politisi saling mengingatkan untuk membatasi ruang gerak mereka yang memiliki salah satu dari dua ‘dosa’ tersebut. Wow, itu benar-benar mengejutkanku. Sesuatu (yang sebenarnya, selama ini) dianggap serius. 

Lalu aku mencoba memahami mengapa ‘dosa’ itu bisa menimbulkan antipati sekelompok orang? Ketika aku mencoba memflash back ingatanku, sebenarnya ada begitu banyak percakapan yang mengarah pada sebuah kesimpulan umum tentang hal tersebut. Ketika aku bertemu dengan beberapa teman dari Amerika, mereka juga memiliki opini yang sama, sebuah sikap antipati pada kaum tersebut. Begitu juga dengan opini seorang teman dari Malaysia yang pernah mengatakan jika mereka tidak ingin Indonesia bernasib sama seperti negara mereka, yang dikuasai oleh kelompok tertentu. Sementara aku juga sering mendengar pengeluhan tentang perlakuan tidak adil di tempat kerja seperti tentang gaji yang dibedakan (meskipun secara pengalaman tidak sebanding) dll. 

Dulu, kupikir kebanyakkan kita, terutama orang-orang bersikap anti kepada kelompok tersebut, hanyalah sikap kecemburuan semata. Tapi seperti kata pepatah, tak ada asap bila tak ada api. Selalu ada hukum sebab-akibat. 

Lingkungan pergaulanku selama ini selalu berada dalam lingkungan orang-orang itu, selama ini aku tidak pernah menghiraukan cara mereka menilai orang-orang di luar kelompok mereka. Sampai suatu hari, di tahun 2015, aku mendengar seorang temanku berkata dengan sangat percaya dirinya, bahwa kaum mereka-lah yang memegang kendali di negeri ini. Dan bahwa tanpa mereka, Indonesia tidak ada apa-apanya. Semula kuakui, dia benar. Namun ketika dia mulai menyombongkan diri, bahwa mereka bisa saja mendirikan negara sendiri di Kalimantan atau pergi ke Singapura, aku menjawabnya dengan santai, “Ya, dicoba saja. Kita lihat bagaimana hidup kalian. Bisakah kalian diterima di Singapura? Toh, kalian kan sudah pernah kabur. Tahun 98, ketika keadaan negara hancur berantakan, kalian semua kabur, tapi, kami masih tetap bisa bertahan hidup. Dan kalian, baru kembali setelah negara aman.” 

Semua percakapan dan peristiwa yang coba kuingat kembali, ternyata memang ada banyak hal yang sebenarnya menjadi perhatian dan keluhan banyak orang tetapi tidak bagiku. Entahlah, aku selalu menilai semua orang itu baik, meskipun aku mendengar berbagai keluhan tapi aku tetap menganggap itu hanya oknum, aku tak suka mengenaralisasi semua orang. Tapi, itu aku. Bukan mereka. 

Aku tetap memilih Ahok dengan menggunakan rasional bukan emosional. Lagipula aku melihat Ahok adalah pribadi yang berbeda meski dia warga keturunan. Dia menjadi berbeda karena dia dididik dan dibesarkan oleh keluarganya yang sudah membaur. Dan dalam sepak terjangnya, Ahok berusaha menunjukkan bahwa dia adalah milik semua pihak, tidak berpihak pada kelompok tertentu. Dia berusaha menunjukkan dirinya tunduk pada undang-undang. Dia berusaha keras menunjukkan kesejatiannya sebagai orang Indonesia. Dia meski diklaim oleh berbagai pihak, tapi bagiku dia tetaplah seorang putera Indonesia. Terbaik. Penuh integritas terhadap bangsa. 

Namun, sebaik apapun Ahok, seberapa keraspun dia menunjukkan ke-indonesiaannya, dia tetap dipandang sebagai orang luar. Itulah kenyataannya saat dia tidak terpilih menjadi gubernur DKI lagi. Dan aku mengerti mengapa Ahok harus tersingkir. Tentu saja, karena salah satu dari dua ‘dosa’ yang dimilikinya. Isu ini tidak mencuat kuat, tapi ketika aku sudah berusaha meyakinkan para pendukung paslon lain, pernyataan yang sama sering dilontarkan: “Neng, ini bukan masalah agama. Bagi kami Bhineka Tunggal Ika sudah jelas. Boleh beda agama, boleh beda suku, tapi asal jangan Cina. Kami tidak mau Cina menguasai Jakarta.” 

Aku menyerah. Bagi mereka agamamu mungkin saja bisa berganti, namun darah asalmu tidak. Perasaan senasib dan sebangsa bukan dilihat dari agamamu, tapi darah yang mengalir dalam dirimu. Dan aku tidak meragukan, jika ternyata banyak orang yang bimbang, ketika disodorkan isu seperti itu. Jika dalam partai-partai politik saja, ada pembatasan ruang gerak, apalagi dalam masyarakat umum. Apakah ini wujud sebuah perlawanan, karena santernya beredar isu tentang resolusi orang-orang Tionghoa yang ingin menguasai politik setelah menguasai ekonomi Indonesia? Mungkinkah? Entahlah. Benar dan tidakknya isu tersebut, tapi bagiku persoalan anti Cina dan pribumi merupakan sebuah persoalan yang tidak akan pernah hilang sampai kapanpun. Karena pada kenyataannya, aku menemukan dalam pendidikan keluarga sebagian masyarakat kita, baik mereka―kaum keturunan maupun kaum pribumi, antipati itu diajarkan pada anak-anak mereka. Ini seperti memelihara bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak. Seharusnya rekonsiliasi bangsa digelar untuk mengakhiri kebencian (karena peristiwa 98 dan sebelumnya) yang terlanjur merekat di hati masing-masing. Bisakah? Demi keutuhan bangsa ini, harusnya bisa.

Comments

Popular Posts