Thriller Holiday (1)
Satu hal yang paling kutunggu di masa sekolah adalah liburan sekolah. Sebab setiap liburan sekolah ayahku pasti mengirimkan aku ke tempat liburan yang aku inginkan. Ketika aku masih berada di bangku sekolah dasar aku selalu pergi berlibur dengan ibuku. Tapi sejak menginjakkan kaki di sekolah menengah aku mulai pergi berlibur sendiri. Sebenarnya aku tidak pernah memintanya tapi karena keadaan aku akhirnya berpergian sendiri. Contohnya ketika liburan tiba, ibuku tidak bisa menemaniku berlibur jadi aku atas seijin orang tuaku aku akhirnya pergi berlibur sendiri.
Liburan sendiri pertama dalam hidupku adalah ketika aku berada di kelas dua es-em-pe. Waktu itu aku hendak berlibur ke tanah kelahiran ayahku - Larantuka, Flores Timur. Ibuku tidak menemaniku karena ia sendiri sudah berada di Larantuka seminggu sebelum liburanku tiba. Dan begitu liburanku tiba ayahku menawarkanku untuk menyusul ibuku di kota itu. Waktu itu aku ingin ayahku yang mengantarkanku tapi beliau tidak bisa karena kesibukannya jadi aku bersedia pergi berlibur sendiri.
" Ni, kamu berani tidak menyusul ibumu di Larantuka sendirian?" tanya ayahku.
" Sendiri? Naik Feri?" balikku bertanya. Aku tidak pernah berpikir bila aku akan berlayar dengan kapal feri seorang diri.
" Nanti Papa antar kamu ke pelabuhan. Pasti di sana ada kenalan yang bisa Papa titipkan kamu pada mereka. Kebetulan istri Om Yance juga akan ke Larantuka hari Sabtu nanti." jelas ayahku untuk membangkitkan kepercayaan diriku.
" Ah,bagaimana dengan tidurku? Juga makanku? Aku kan tidak bisa makan sembarangan." ujarku. Sebenarnya aku lebih suka bila ayahku yang mengantarkanku daripada menitipkan aku pada keluarga.
" Nanti kamu bawa bekal sendiri. Kalau kamu tidak mau dititipkan berarti kamu tidak usah pergi berlibur saja kali ini. " ancam ayahku.
Aku tidak bisa membantah lagi kali ini. Mau tidak mau aku harus bersedia dititipkan pada orang lain, atau aku tidak akan berlibur kali ini. Membayangkan sebulan di rumah tanpa petualangan serasa hidup dalam kurungan ayam. Hehehe..
Ketika hari Sabtu tiba, jam 8 pagi ayahku sudah memintaku bersiap-siap. Kumasukkan baju secukupnya ke tas punggung. Kemudian selesai makan siang ia mengantarku ke pelabuhan. Tapi ayahku lupa menyiapkan bekal untukku nanti di kapal. Karena pelayaran hanya semalam maka kami memutuskan untuk membeli roti dan coklat untuk makan malamku plus sarapan pagiku besoknya.
Saat kami tiba di pelabuhan feri udara saat itu sangat panas. Aku mengenakan kaos oblong yang baru dibeli ayahku sebagai sogokkan agar aku mau pergi berlibur sendirian, jeans belel dan topi cap untuk menghindari panas matahari. Setelah membeli tiket ia mengantarku ke kapal feri. Di kapal itu kami bertemu dengan istri saudara jauh ayahku. Namanya Tante Essi. Ayahku menitipkan aku padanya. Aku dengan enggan duduk di tikar yang telah digelarnya.
" Wah, Eni sudah besar ya? Sudah lama tidak main ke Perumnas." katanya. Aku hanya tersenyum sambil menunduk. Saat ayahku mengobrol dengannya aku mengeluarkan buku TTS untuk mengisi kekosongan waktu. Selain roti dan coklat yang kubawa sebagai bekal aku juga membawa buku TTS dan kartu untuk menghilangkan kejenuhanku.
Setengah jam kemudian terdengar pengumuman kalau kapal feri tersebut akan segera berlayar. Suasana di atas feri juga sudah semakin ramai. Ayahku berpamitan pada Tante Essi. Ia juga berpamitan padaku. Aku dimintanya untuk tidak cemas karena ada Tante Esi yang menemaniku. Dan ibuku akan menjemputku di pelabuhan keesokan harinya. Aku juga tidak secemas seperti sebelumnya karena setidaknya ayahku sudah memberikan uang saku yang banyak. Hahaha..
Ketika kapal feri perlahan mulai meninggalkan pelabuhan, aku bersandar pada tepian buritan kapal sambil melambaikan tanganku pada ayahku. Aku merasa sedih meninggalkannya. Aku belum pernah pergi berlibur dengan ayah sekali pun karena ia selalu sibuk bekerja. Ia juga membalas melambaikan tangannya. Hingga pelabuhan terlihat hanya bayangan aku masih belum beranjak dari buritan. Aku ingin memastikan ayahku tetap berada di sana sampai mataku tak mampu menangkap sosoknya lagi.
Saat malam tiba, aku memilih duduk-duduk di tangga. Tante Esi terakhir kutinggalkan sedang tidur-tiduran di tikar. Aku merasa canggung untuk berbincang-bincang dengannya jadi kuputuskan untuk menikmati sinar bulan seorang diri walau angin bertiup sangat dingin. Aku ingin mengisi TTS-ku tapi cahaya lampu di temaptku duduk tidak cukup baik untuk membaca. Jadi aku memandang bulan sambil memikirkan kegiatan yang akan kulakukan setiba di Larantuka. Tentu saja aku akan banyak menghabiskan waktu dengan memancing dan mendaki gunung ke kebun keluarga.
Sementara aku sedang asik dengan pikiranku tiba-tiba di depanku lewat dua orang cowo yang kira-kira dua tahun lebih tua dariku. Mereka pasti anak es-em-a. Ketika melihatku, mereka melemparkan senyum dengan ragu-ragu. Dalam hatiku menebak mereka pasti akan datang menghampiriku. Jadi aku cepat-cepat membuang muka. Dengan begitu mereka tidak akan menggangguku. Tapi di luar dugaan mereka datang mendekatiku. Salah seorang dari mereka yang bertubuh lebih tinggi ,menyapaku.
" Dari Kupang ya?" tanyanya. Aku mengangguk malas.
" Tinggal dimana?" tanyanya lagi. Aku menyebut nama tempat tinggalku dengan suara hampir tak terdengar.
" Oh..Kenal Pak Ribert ga?" tanyanya lagi. Aku terperanjat. Dia mengenal ayahku.
"Itu ayahku!" sahutku cepat.
"Wah, kamu anaknya Pak Ribert ya? Kita dulu bertetangga saat kalian masih tinggal di Naikoten Dua." jelasnya. Hah? Ternyata mereka adalah tetangga lamaku. Tentu saja hatiku jadi senang. Aku bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa kusebut kerabat. Tapi sejujurnya aku tidak ingat apapun tentang kehidupanku di daerah tersebut karena saat itu usiaku masih balita.
Akhirnya kami berkenalan. Ternyata cowo yang bertubuh tinggi itu bernama Tonce dan temannya yang satu lagi bernama Pungut. Hahaha..Nama yang lucu.
Malam itu ternyata tidak membosankan karena aku punya teman mengobrol. Kami bercerita tentang sekolah masing-masing dan juga bercerita tentang beberapa orang yang kami sama-sama kenal. Bahkan setelah bosan mengobrol, kami bisa bermain kartu foker bersama di tikar yang di gelar Tante Essy. Ah, senangnya mendapat teman dalam perjalanan. Ternyata pergi berlibur sendirian juga tidak menakutkan seperti yang kukuatirkan. Ini mengajarkanku bahwa kita bisa mendapatkan teman yang baik dalam perjalanan asalkan kita juga harus tetap berhati-hati.
Saat malam tiba, aku memilih duduk-duduk di tangga. Tante Esi terakhir kutinggalkan sedang tidur-tiduran di tikar. Aku merasa canggung untuk berbincang-bincang dengannya jadi kuputuskan untuk menikmati sinar bulan seorang diri walau angin bertiup sangat dingin. Aku ingin mengisi TTS-ku tapi cahaya lampu di temaptku duduk tidak cukup baik untuk membaca. Jadi aku memandang bulan sambil memikirkan kegiatan yang akan kulakukan setiba di Larantuka. Tentu saja aku akan banyak menghabiskan waktu dengan memancing dan mendaki gunung ke kebun keluarga.
Sementara aku sedang asik dengan pikiranku tiba-tiba di depanku lewat dua orang cowo yang kira-kira dua tahun lebih tua dariku. Mereka pasti anak es-em-a. Ketika melihatku, mereka melemparkan senyum dengan ragu-ragu. Dalam hatiku menebak mereka pasti akan datang menghampiriku. Jadi aku cepat-cepat membuang muka. Dengan begitu mereka tidak akan menggangguku. Tapi di luar dugaan mereka datang mendekatiku. Salah seorang dari mereka yang bertubuh lebih tinggi ,menyapaku.
" Dari Kupang ya?" tanyanya. Aku mengangguk malas.
" Tinggal dimana?" tanyanya lagi. Aku menyebut nama tempat tinggalku dengan suara hampir tak terdengar.
" Oh..Kenal Pak Ribert ga?" tanyanya lagi. Aku terperanjat. Dia mengenal ayahku.
"Itu ayahku!" sahutku cepat.
"Wah, kamu anaknya Pak Ribert ya? Kita dulu bertetangga saat kalian masih tinggal di Naikoten Dua." jelasnya. Hah? Ternyata mereka adalah tetangga lamaku. Tentu saja hatiku jadi senang. Aku bisa bertemu dengan orang-orang yang bisa kusebut kerabat. Tapi sejujurnya aku tidak ingat apapun tentang kehidupanku di daerah tersebut karena saat itu usiaku masih balita.
Akhirnya kami berkenalan. Ternyata cowo yang bertubuh tinggi itu bernama Tonce dan temannya yang satu lagi bernama Pungut. Hahaha..Nama yang lucu.
Malam itu ternyata tidak membosankan karena aku punya teman mengobrol. Kami bercerita tentang sekolah masing-masing dan juga bercerita tentang beberapa orang yang kami sama-sama kenal. Bahkan setelah bosan mengobrol, kami bisa bermain kartu foker bersama di tikar yang di gelar Tante Essy. Ah, senangnya mendapat teman dalam perjalanan. Ternyata pergi berlibur sendirian juga tidak menakutkan seperti yang kukuatirkan. Ini mengajarkanku bahwa kita bisa mendapatkan teman yang baik dalam perjalanan asalkan kita juga harus tetap berhati-hati.
Comments
Post a Comment