Bersaing?? Siapa Takut!!
Dengar kata bersaing bagi sebagian orang artinya siap-siap 'perang', berlomba atau kompetisi yang dilakukan secara terbuka atau terang-terangan antara individu, kelompok atau negara. Bagi sebagian masyarakat kita di Indonesia bersaing cenderung dianggap hal yang negatif karena menganggap itu sebagai sikap sok pamer atau superior. Namun bagi sebagian orang lagi menganggap bersaing itu hal yang sah asalkan persaingan dilakukan secara sehat. Persaingan biasa kita temui dalam kompetisi-kompetisi baik dalam bidang olah raga, sains maupun bisnis. Tapi dalam kehidupan pada umumnya sadar atau tidak sadar persaingan juga kita sering jumpai atau bahkan kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Entah itu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan, prestasi bahkan juga kasih sayang. Dan hal ini memang lumrah selama kita tetap menghargai asas kemanusiaan.
Jadi bila kamu diajak bersaing terutama dalam bangku studi kenapa tidak? Selama kita tidak melakukan kecurangan untuk meraih kemenangan, sah-sah saja. Karena sesungguhnya memiliki mental bersaing artinya kita membangkitkan semangat produktifitas dalam diri. Bila kita ingin berhasil sudah pasti kita giat melakukan persiapan, bukan?
Aku bersentuhan dengan kata bersaing pertama kali, saat aku berada di kelas dua es-em-pe. Saat itu salah seorang teman sekelasku (cowo) dengan terang-terangan mengajakku bersaing untuk menjadi juara kelas. Entah ia memang ingin bersaing untuk saling membangkitkan semangat belajar kami atau untuk alasan pribadi lainnya, yang jelas saat itu aku merasa tidak suka sehingga aku memilih menjauh dari temanku itu. Mungkin saat itu aku tidak cukup memahami hal persaingan sehingga aku berpikir temanku terlalu percaya diri dan sombong.
Belajar dari pengalaman di es-em-pe, saat di es-em-a dalam berteman aku berusaha lebih terbuka pada teman-temanku terutama mereka yang memang memiliki kompetensi. Setidaknya jika mereka mengajak bersaing untuk mendapatkan nilai bagus dalam ulangan aku menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan. Kesenangan semata. Bila nilaiku tidak lebih baik dari mereka aku akan menerimanya dengan sportif berpikir bahwa persaingan kami hanya untuk kesenangan dan bukan segalanya. Sebaliknya bila nilaiku lebih baik aku berpikir bahwa itu bukan jaminan bahwa aku sudah lebih hebat dari mereka. Ini membuatku tetap berpijak. Aku berusaha hidup mengalir seperti air. Tidak membebani diri tapi tetap punya target dan fokus. Targetku bukanlah berada pada posisi pertama di kelas, tapi targetku adalah aku bisa menyelesaikan semua mata pelajaran dengan baik termasuk pelajaran yang paling tidak kusukai. Waktu kelas satu aku pernah mengecewakan diri sendiri. Karena aku tidak menyukai cara mengajar guru Ekonomi, aku mengabaikan semua tugas yang dimintanya. Alhasil, nilaiku kebakaran. Itu satu-satunya kegagalan yang pernah aku peroleh. Dan itu membuatku menyesal. Padahal pelajaran ekonomi bukanlah pelajaran yang aku benci.
Bersaing bagi sebagian masyarakat kita di Indonesia khususnya pelajar bukanlah hal yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sebagai pelajar kita cenderung memilih bersaing tapi tidak secara terang-terangan. Mungkin budaya malu yang masih melekat dalam diri kita. Tapi sikap kucing-kucingan ini juga bisa menghasilkan sikap yang tidak sportif jika ternyata kita gagal dalam persaingan. Jauh sebelum aku mengerti banyak hal dalam persaingan seperti sekarang ini yaitu tentang persaingan politik, persaingan bisnis dan bahkan persaingan posisi di tempat kerja, aku telah mengalami sebuah persaingan yang endingnya bisa kukatakan tidak berakhir dengan happy ending.
Saat kami naik ke kelas tiga, prestasi Moniq berkembang pesat. Ia malah menduduki posisi kedua di kelasku. Guru-guru juga kembali memuji-mujinya. Untuk pelajaran yang mengharuskan menghafal, Moniq sangat menonjol karena ia mampu menghafal dengan cepat. Pernah sekali saat pelajaran PPKN, guru kami menguji kecepatan kami menghafal. Dan Moniq selalu keluar sebagai pemenangnya.
Sejak itu ia menjadi murid kesayangan guru PPKN tersebut. Tapi aku merasa aneh dengan sikap guruku itu karena menurutku kemampuan seseorang dalam menghafal bukan satu-satu jaminan bahwa itulah cara cerdas meraih nilai terbaik. Dan bukan itu saja, pernah sekali waktu saat kami melakukan tanya jawab menjelang ujian akhir sekolah ia menghukumku hanya karena aku bersikeras dengan jawabanku. Bahkan setelah aku menunjukkan catatan yang kumiliki tentang materi yang kami bahas, ia tetap saja tidak mengakui kekeliruannya. Keadaan itu membuatku tidak nyaman karena seolah-olah sebagai juara kelas bertahan aku tidak dianggap. Pujian guru PPKN itu juga cukup membangkitkan kepercayaan diri Moniq karena itu sikapnya juga mulai berbeda ia bahkan sengaja menjauhkan diri dan terkadang bersikap memandang rendah terhadapku.
Ada suatu kejadian yang disaksikan oleh wali kelasku sendiri. Saat itu sedang berlangsung penerimaan rapor semester lima. Saat wali kelasku mengumumkan namaku sebagai peringkat satu, secara tidak sengaja ia melihat Moniq membuang ludah di depan pintu begitu namaku disebut. Mendengar cerita wali kelasku aku baru menyadari bahwa selama ini Moniq tidak pernah menyukai dengan semua prestasiku. Dan selama ini ia juga tidak menganggapku sebagai teman tapi sebagai pesaing.
Walau mengetahui bahwa Moniq sedang bersaing denganku secara diam-diam tidak menimbulkan kekuatiran dalam diriku. Jujur saja malah aku tidak peduli. Aku memang benar-benar tidak peduli bahkan sekalipun wali kelasku menganjurkanku untuk bicara baik-baik dengannya. Jika ia ingin mengambil posisiku aku akan persilahkan. Sebab selama bersekolah aku tidak pernah memusingkan masalah peringkat. Mungkin aku tidak pernah terbebani dengan hal seperti itu karena orang tuaku sendiri tidak pernah merasa menjadi peringkat satu itu penting. Yang terpenting adalah aku selalu bersikap jujur dan bertanggung jawab.
Persaingan terselubung itu ternyata berlangsung hingga UAS. Aku ingat ketika aku dan Moniq keluar dari ruang ujian guru PPKN itu langsung menghampiri kami. Ia dengan semangat menanyakan jawaban salah satu pertanyaan essay kalau tidak salah waktu itu tentang nilai-nilai positif pancasila. Saat Moniq menjelaskannya aku langsung menyela karena aku yakin jawabannya tidak lengkap. Tapi lagi-lagi guru PPKN itu malah menyalahkan jawabanku. Aku semakin merasa aneh dengan sikap guru tersebut. Keberpihakkan yang membabi buta menurutku.
Klimaks dari persaingan ini semakin terasa ketika kami menunggu hasil UAN. Dalam masa penantian itu berkembang rumor bahwa Moniq berhasil keluar sebagai juara umum. Ia juga memperoleh kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke Jerman karena nilai bahasa Jermannya adalah nilai yang tertinggi. Hal terakhir ini yang menimbulkan kekecewaan dalam diriku. Selama ini aku ingin sekali bisa melanjutkan studi ke luar negeri dan peluang itu adalah beasiswa ke Jerman. Karena cita-cita ini aku sangat serius belajar bahasa Jerman. Nilai-nilaiku juga sangat mendukung untuk mendapatkan peluang itu. Tapi dengan adanya rumor tersebut peluangku sepertinya hanya tinggal mimpi. Walau itu baru rumor namun beberapa guru sudah membenarkannya. Aku ingat di acara piknik bersama kelasku salah seorang guru juga mendoakan Moniq atas keberhasilannya memperoleh beasiswa tersebut. Namun entah kenapa aku tidak terpuruk. Ada keyakinan dalam diri selama hasilnya belum keluar aku masih memiliki peluang. Tapi pernah sekali waktu teman-teman pendukung Moniq dengan terang-terangan memojokkanku. Kata mereka jika Moniq yang keluar sebagai juara umum adalah wajar. Walau kesal tapi aku tidak berkecil hati tetap saja aku percaya pada hasil akhir nanti. Apalagi selama ini aku tahu bahwa aku sudah bekerja keras mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tentu saja aku juga layak mendapatkan hasil yang baik. Tanpa aku sadari aku membiarkan persaingan itu hadir.
Seminggu kemudian keluar hasil UAN. Hari itu aku sengaja datang terlambat ke sekolah. Aku tidak siap dengan berita yang akan kudengar. Saat tiba di sekolah beberapa temanku langsung menyambut dengan antusias. Mereka menyalami dan memelukku. Ternyata hasil pengumuman menyatakan bahwa aku keluar sebagai juara umum karena nilai UAN-ku yang tertinggi di sekolah dan aku juga berhak mendapatkan beasiswa kuliah ke Jerman sebab nilai bahasa Jermanku bukan hanya tertinggi di sekolah tapi juga tertinggi di propinsi. Aku senang sekali. Tapi seperti mimpi, aku tidak menyangka. Bagaiman hal tersebut bisa terjadi? Bukankah guru-guru tertentu sudah memprediksikan tentang hasilnya? Saat itu aku terpikirkan tentang perasaan Moniq. Aku berpikir bagaimana dia menghadapi semua kekeliruan ini. Aku merasa kasihan padnya. Sekaligus kecewa dengan guru-guru yang sudah memberi harapan-harapan dalam diri Moniq. Seharusnya mereka tidak berspekulasi sebelum mendengarkan hasilnya.
Dengan keberhasilanku ini hal pertama yang ingin aku lakukan adalah menemui guru PPKN. Aku ingin sekali melihat reaksinya. Saat itu aku langsung menuju ruang guru dan menemui wali kelasku. Aku tau kalau aku masuk ke ruang guru aku pasti akan bertemu juga dengan guru tersebut. Ternyata guru itu memang ada di sana. Pura-pura aku tidak melihatnya. Saat aku menyalami wali kelasku dan beberapa guru yang memberikan ucapan selamat, ia langsung memanggilku. "Hei, Ribert!" panggilnya. Aku sedikit membungkuk memberi salam. "Sini kamu!" panggilnya lagi. Dengan tenang aku menghampirinya. Katanya, "Selamat ya nilai PPKNmu juga ternyata yang paling tinggi." Ia menyalamiku dengan tersenyum lebar. "Wah, ternyata kau hebat juga. Saya bangga sama kau!" Mendengar itu aku merasa lapang dan tiba-tiba saja aku jadi menyukainya. Kekesalanku padanya sepertinya tidak pernah terjadi.
Setelah pengumuman itu aku tidak pernah melihat Moniq menampakkan wajahnya di sekolah. Aku menduga mungkin ia merasa malu atau kecewa. Tapi pernah sekali waktu,tepatnya hari terakhir pengurusan ijazah dan transkrip nilai, aku bertemu dengannya di atas angkot saat aku pulang sekolah. Kami saling menyapa. Ia juga tidak lupa memberiku selamat. Aku senang karena aku masih bisa bertemu dengannya sebelum berpisah selamanya.
Perjalananku di es-em-a adalah pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Aku tidak percaya bahwa chapter kehidupanku ini akan benar-benar seperti cerita sebuah film. Aku senang. Itu artinya Tuhan sangat memperhatikanku. Aku belajar dari orang-orang yang memberiku dukungan dan semangat dan juga sekaligus dari orang-orang yang terang-terangan memojokkanku. Aku belajar bahwa dalam hidup ini kita membutuhkan orang-orang terkasih di sekitar kita baik itu keluarga, guru-guru dan teman-teman agar kita selalu memiliki keyakinan banwa kita mampu meraih kesukesan. Mereka akan selalu berada di pihak kita tidak peduli apapun yang terjadi. Sementara mereka yang suka mecemooh atau memandang rendah aku belajar bahwa hidup tidak bergantung pada apa yang manusia pikirkan, katakan atau lakukan. Hidup kita seutuhnya bergantung pada Tuhan. Manusia boleh saja berlaku sekehendakknya namun Tuhan memiliki kedaulatan penuh. Nah, jika ada yang memandang rendah padamu ingatlah ia bukan siapa-siapa. Kamu harus percaya pada dirimu dan Tuhan yang memberimu kehidupan.
Tapi ceritaku ini tidak berakhir bahagia sepenuhnya. Karena ternyata kesempatanku melanjutkan studi ke luar negeri tepatnya Jerman tidak terlaksana. Aku mendengar dari wali kelas bahwa ternyata kepala sekolah membatalkannya. Alasannya yang pasti aku tidak tahu. Tapi yang tersirat adalah karena ia lebih menghendaki bila peluang itu jatuh pada orang yang berasal dari suku yang sama dengannya. Kekanakkan-kanakan. Walau aku kecewa tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Namun aku menerimanya saja. Aku tetap berbesar hati. Jika kali ini gagal mewujudkan cita-citaku bersekolah di luar negeri kelak Tuhan akan memberiku kesempatan lagi. Yang penting aku tidak boleh berhenti bermimpi dan berusaha semampuku. Itupun yang harus kamu lakukan dengan mimpi-mimpimu. Semangatlah. Tugas kita berusaha semampu kita selebihnya biarlah Tuhan yang berkerja. :)
Jadi bila kamu diajak bersaing terutama dalam bangku studi kenapa tidak? Selama kita tidak melakukan kecurangan untuk meraih kemenangan, sah-sah saja. Karena sesungguhnya memiliki mental bersaing artinya kita membangkitkan semangat produktifitas dalam diri. Bila kita ingin berhasil sudah pasti kita giat melakukan persiapan, bukan?
Aku bersentuhan dengan kata bersaing pertama kali, saat aku berada di kelas dua es-em-pe. Saat itu salah seorang teman sekelasku (cowo) dengan terang-terangan mengajakku bersaing untuk menjadi juara kelas. Entah ia memang ingin bersaing untuk saling membangkitkan semangat belajar kami atau untuk alasan pribadi lainnya, yang jelas saat itu aku merasa tidak suka sehingga aku memilih menjauh dari temanku itu. Mungkin saat itu aku tidak cukup memahami hal persaingan sehingga aku berpikir temanku terlalu percaya diri dan sombong.
Belajar dari pengalaman di es-em-pe, saat di es-em-a dalam berteman aku berusaha lebih terbuka pada teman-temanku terutama mereka yang memang memiliki kompetensi. Setidaknya jika mereka mengajak bersaing untuk mendapatkan nilai bagus dalam ulangan aku menganggapnya sebagai hal yang menyenangkan. Kesenangan semata. Bila nilaiku tidak lebih baik dari mereka aku akan menerimanya dengan sportif berpikir bahwa persaingan kami hanya untuk kesenangan dan bukan segalanya. Sebaliknya bila nilaiku lebih baik aku berpikir bahwa itu bukan jaminan bahwa aku sudah lebih hebat dari mereka. Ini membuatku tetap berpijak. Aku berusaha hidup mengalir seperti air. Tidak membebani diri tapi tetap punya target dan fokus. Targetku bukanlah berada pada posisi pertama di kelas, tapi targetku adalah aku bisa menyelesaikan semua mata pelajaran dengan baik termasuk pelajaran yang paling tidak kusukai. Waktu kelas satu aku pernah mengecewakan diri sendiri. Karena aku tidak menyukai cara mengajar guru Ekonomi, aku mengabaikan semua tugas yang dimintanya. Alhasil, nilaiku kebakaran. Itu satu-satunya kegagalan yang pernah aku peroleh. Dan itu membuatku menyesal. Padahal pelajaran ekonomi bukanlah pelajaran yang aku benci.
Bersaing bagi sebagian masyarakat kita di Indonesia khususnya pelajar bukanlah hal yang ditanamkan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi sebagai pelajar kita cenderung memilih bersaing tapi tidak secara terang-terangan. Mungkin budaya malu yang masih melekat dalam diri kita. Tapi sikap kucing-kucingan ini juga bisa menghasilkan sikap yang tidak sportif jika ternyata kita gagal dalam persaingan. Jauh sebelum aku mengerti banyak hal dalam persaingan seperti sekarang ini yaitu tentang persaingan politik, persaingan bisnis dan bahkan persaingan posisi di tempat kerja, aku telah mengalami sebuah persaingan yang endingnya bisa kukatakan tidak berakhir dengan happy ending.
Di kelas dua es-em-a aku memiliki seorang teman. Namanya Moniq. Kami sudah saling mengenal sejak es-em-pe. Namun di es-em-a ini baru persahabatan kami menjadi lebih dekat. Ia seorang teman yang baik dan pandai. Aku selalu berada di kelas yang sama dengannya sejak kelas satu. Ia cukup populer di sekolah karena selain pandai ia juga cantik dan energik. Ia pernah menjadi juara umum semester pertama di kelas satu. Tapi prestasinya tidak menjadi lebih baik ketika naik ke kelas dua. Hal terbesar yang mempengaruhi prestasinya memburuk adalah saat ia mulai dekat dengan seorang teman (cowo) di kelas kami. Ia menjadi dekat dengan anak tersebut karena mereka memiliki cita-cita yang sama yaitu ingin menjadi pendeta. Namun cita-cita luhur mereka tidak disikapi dengan sikap bijak, karena bukannya mereka bersikap lebih mawas diri di sekolah tapi sebaliknya. Mereka sering membolos dari sekolah dengan alasan pelayanan. Mereka suka meninggalkan pelajaran-pelajaran yang mereka anggap tidak ada kaitannya dengan masa depan mereka seperti sejarah, olah raga, IK dan beberapa pelajaran tambahan lainnya. Karena sering membolosnya mereka prestasi Moniq menjadi menurun. Ia hanya menduduki urutan ketiga di kelas pada semester pertama. Bukan hanya prestasinya yang menurun namun penilaian baik dari guru-guru terhadapnya mulai mengendur. Ia dan beberapa temannya yang sering membolos hampir sajadikeluarkan dari sekolah.
Prihatin atas keadaan temanku ini, hubungan pertemanan kami yang sempat mengendur kuupayakan dekat seperti sedia kala. Sebenarnya persahabatan kami tidak benar-benar hilang, aku saja yang menjauhkan diri sejak Moniq bergaul dekat dengan anak itu. Walau aku akui anak itu juga pandai tapi sikapnya yang tidak menghargai guru membuatku menjauh darinya dan Moniq. Namun sejak anak itu dipindahkan ke sekolah yang lain sebagai kebijakkan sekolah, aku dan Moniq mulai berteman dekat lagi. Sebagai teman yang baik aku ingin ia berprestasi seperti sebelumnya. Aku selalu menyemangatinya. Saat kami naik ke kelas tiga, prestasi Moniq berkembang pesat. Ia malah menduduki posisi kedua di kelasku. Guru-guru juga kembali memuji-mujinya. Untuk pelajaran yang mengharuskan menghafal, Moniq sangat menonjol karena ia mampu menghafal dengan cepat. Pernah sekali saat pelajaran PPKN, guru kami menguji kecepatan kami menghafal. Dan Moniq selalu keluar sebagai pemenangnya.
Sejak itu ia menjadi murid kesayangan guru PPKN tersebut. Tapi aku merasa aneh dengan sikap guruku itu karena menurutku kemampuan seseorang dalam menghafal bukan satu-satu jaminan bahwa itulah cara cerdas meraih nilai terbaik. Dan bukan itu saja, pernah sekali waktu saat kami melakukan tanya jawab menjelang ujian akhir sekolah ia menghukumku hanya karena aku bersikeras dengan jawabanku. Bahkan setelah aku menunjukkan catatan yang kumiliki tentang materi yang kami bahas, ia tetap saja tidak mengakui kekeliruannya. Keadaan itu membuatku tidak nyaman karena seolah-olah sebagai juara kelas bertahan aku tidak dianggap. Pujian guru PPKN itu juga cukup membangkitkan kepercayaan diri Moniq karena itu sikapnya juga mulai berbeda ia bahkan sengaja menjauhkan diri dan terkadang bersikap memandang rendah terhadapku.
Ada suatu kejadian yang disaksikan oleh wali kelasku sendiri. Saat itu sedang berlangsung penerimaan rapor semester lima. Saat wali kelasku mengumumkan namaku sebagai peringkat satu, secara tidak sengaja ia melihat Moniq membuang ludah di depan pintu begitu namaku disebut. Mendengar cerita wali kelasku aku baru menyadari bahwa selama ini Moniq tidak pernah menyukai dengan semua prestasiku. Dan selama ini ia juga tidak menganggapku sebagai teman tapi sebagai pesaing.
Walau mengetahui bahwa Moniq sedang bersaing denganku secara diam-diam tidak menimbulkan kekuatiran dalam diriku. Jujur saja malah aku tidak peduli. Aku memang benar-benar tidak peduli bahkan sekalipun wali kelasku menganjurkanku untuk bicara baik-baik dengannya. Jika ia ingin mengambil posisiku aku akan persilahkan. Sebab selama bersekolah aku tidak pernah memusingkan masalah peringkat. Mungkin aku tidak pernah terbebani dengan hal seperti itu karena orang tuaku sendiri tidak pernah merasa menjadi peringkat satu itu penting. Yang terpenting adalah aku selalu bersikap jujur dan bertanggung jawab.
Persaingan terselubung itu ternyata berlangsung hingga UAS. Aku ingat ketika aku dan Moniq keluar dari ruang ujian guru PPKN itu langsung menghampiri kami. Ia dengan semangat menanyakan jawaban salah satu pertanyaan essay kalau tidak salah waktu itu tentang nilai-nilai positif pancasila. Saat Moniq menjelaskannya aku langsung menyela karena aku yakin jawabannya tidak lengkap. Tapi lagi-lagi guru PPKN itu malah menyalahkan jawabanku. Aku semakin merasa aneh dengan sikap guru tersebut. Keberpihakkan yang membabi buta menurutku.
Klimaks dari persaingan ini semakin terasa ketika kami menunggu hasil UAN. Dalam masa penantian itu berkembang rumor bahwa Moniq berhasil keluar sebagai juara umum. Ia juga memperoleh kesempatan untuk mendapatkan beasiswa ke Jerman karena nilai bahasa Jermannya adalah nilai yang tertinggi. Hal terakhir ini yang menimbulkan kekecewaan dalam diriku. Selama ini aku ingin sekali bisa melanjutkan studi ke luar negeri dan peluang itu adalah beasiswa ke Jerman. Karena cita-cita ini aku sangat serius belajar bahasa Jerman. Nilai-nilaiku juga sangat mendukung untuk mendapatkan peluang itu. Tapi dengan adanya rumor tersebut peluangku sepertinya hanya tinggal mimpi. Walau itu baru rumor namun beberapa guru sudah membenarkannya. Aku ingat di acara piknik bersama kelasku salah seorang guru juga mendoakan Moniq atas keberhasilannya memperoleh beasiswa tersebut. Namun entah kenapa aku tidak terpuruk. Ada keyakinan dalam diri selama hasilnya belum keluar aku masih memiliki peluang. Tapi pernah sekali waktu teman-teman pendukung Moniq dengan terang-terangan memojokkanku. Kata mereka jika Moniq yang keluar sebagai juara umum adalah wajar. Walau kesal tapi aku tidak berkecil hati tetap saja aku percaya pada hasil akhir nanti. Apalagi selama ini aku tahu bahwa aku sudah bekerja keras mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, tentu saja aku juga layak mendapatkan hasil yang baik. Tanpa aku sadari aku membiarkan persaingan itu hadir.
Seminggu kemudian keluar hasil UAN. Hari itu aku sengaja datang terlambat ke sekolah. Aku tidak siap dengan berita yang akan kudengar. Saat tiba di sekolah beberapa temanku langsung menyambut dengan antusias. Mereka menyalami dan memelukku. Ternyata hasil pengumuman menyatakan bahwa aku keluar sebagai juara umum karena nilai UAN-ku yang tertinggi di sekolah dan aku juga berhak mendapatkan beasiswa kuliah ke Jerman sebab nilai bahasa Jermanku bukan hanya tertinggi di sekolah tapi juga tertinggi di propinsi. Aku senang sekali. Tapi seperti mimpi, aku tidak menyangka. Bagaiman hal tersebut bisa terjadi? Bukankah guru-guru tertentu sudah memprediksikan tentang hasilnya? Saat itu aku terpikirkan tentang perasaan Moniq. Aku berpikir bagaimana dia menghadapi semua kekeliruan ini. Aku merasa kasihan padnya. Sekaligus kecewa dengan guru-guru yang sudah memberi harapan-harapan dalam diri Moniq. Seharusnya mereka tidak berspekulasi sebelum mendengarkan hasilnya.
Dengan keberhasilanku ini hal pertama yang ingin aku lakukan adalah menemui guru PPKN. Aku ingin sekali melihat reaksinya. Saat itu aku langsung menuju ruang guru dan menemui wali kelasku. Aku tau kalau aku masuk ke ruang guru aku pasti akan bertemu juga dengan guru tersebut. Ternyata guru itu memang ada di sana. Pura-pura aku tidak melihatnya. Saat aku menyalami wali kelasku dan beberapa guru yang memberikan ucapan selamat, ia langsung memanggilku. "Hei, Ribert!" panggilnya. Aku sedikit membungkuk memberi salam. "Sini kamu!" panggilnya lagi. Dengan tenang aku menghampirinya. Katanya, "Selamat ya nilai PPKNmu juga ternyata yang paling tinggi." Ia menyalamiku dengan tersenyum lebar. "Wah, ternyata kau hebat juga. Saya bangga sama kau!" Mendengar itu aku merasa lapang dan tiba-tiba saja aku jadi menyukainya. Kekesalanku padanya sepertinya tidak pernah terjadi.
Setelah pengumuman itu aku tidak pernah melihat Moniq menampakkan wajahnya di sekolah. Aku menduga mungkin ia merasa malu atau kecewa. Tapi pernah sekali waktu,tepatnya hari terakhir pengurusan ijazah dan transkrip nilai, aku bertemu dengannya di atas angkot saat aku pulang sekolah. Kami saling menyapa. Ia juga tidak lupa memberiku selamat. Aku senang karena aku masih bisa bertemu dengannya sebelum berpisah selamanya.
Perjalananku di es-em-a adalah pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Aku tidak percaya bahwa chapter kehidupanku ini akan benar-benar seperti cerita sebuah film. Aku senang. Itu artinya Tuhan sangat memperhatikanku. Aku belajar dari orang-orang yang memberiku dukungan dan semangat dan juga sekaligus dari orang-orang yang terang-terangan memojokkanku. Aku belajar bahwa dalam hidup ini kita membutuhkan orang-orang terkasih di sekitar kita baik itu keluarga, guru-guru dan teman-teman agar kita selalu memiliki keyakinan banwa kita mampu meraih kesukesan. Mereka akan selalu berada di pihak kita tidak peduli apapun yang terjadi. Sementara mereka yang suka mecemooh atau memandang rendah aku belajar bahwa hidup tidak bergantung pada apa yang manusia pikirkan, katakan atau lakukan. Hidup kita seutuhnya bergantung pada Tuhan. Manusia boleh saja berlaku sekehendakknya namun Tuhan memiliki kedaulatan penuh. Nah, jika ada yang memandang rendah padamu ingatlah ia bukan siapa-siapa. Kamu harus percaya pada dirimu dan Tuhan yang memberimu kehidupan.
Tapi ceritaku ini tidak berakhir bahagia sepenuhnya. Karena ternyata kesempatanku melanjutkan studi ke luar negeri tepatnya Jerman tidak terlaksana. Aku mendengar dari wali kelas bahwa ternyata kepala sekolah membatalkannya. Alasannya yang pasti aku tidak tahu. Tapi yang tersirat adalah karena ia lebih menghendaki bila peluang itu jatuh pada orang yang berasal dari suku yang sama dengannya. Kekanakkan-kanakan. Walau aku kecewa tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Namun aku menerimanya saja. Aku tetap berbesar hati. Jika kali ini gagal mewujudkan cita-citaku bersekolah di luar negeri kelak Tuhan akan memberiku kesempatan lagi. Yang penting aku tidak boleh berhenti bermimpi dan berusaha semampuku. Itupun yang harus kamu lakukan dengan mimpi-mimpimu. Semangatlah. Tugas kita berusaha semampu kita selebihnya biarlah Tuhan yang berkerja. :)
Comments
Post a Comment